Secara garis besar, Cyber Crime terdiri dari dua jenis, yaitu;
1. Kejahatan yang menggunakan teknologi informasi (“TI”) sebagai fasilitas;
2. Kejahatan yang menjadikan sistem dan fasilitas TI sebagai sasaran.
Berdasarkan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (“UU ITE”), hukum Indonesia telah mengakui alat bukti
elektronik atau digital sebagai alat bukti yang sah di pengadilan. Dalam
acara kasus pidana yang menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP), maka UU ITE ini memperluas dari ketentuan Pasal 184
KUHAP mengenai alat bukti yang sah.
Pasal 5
1. Informasi Elektronik dan / atau Dokumen Elektronik dan / atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
2. Informasi Elektronik dan / atau Dokumen Elektronik dan / atau hasil
cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari
alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
3. Informasi Elektronik dan / atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah
apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam Undang- Undang ini.
4. Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan / atau Dokumen Elektronik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk :
a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan
b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat
dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat
akta.
Pasal 6
Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat
(4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis
atau asli, Informasi Elektronik dan / atau Dokumen Elektronik dianggap
sah sepanjang informasi yang tercantum didalamnya dapat diakses,
ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan
sehingga menerangkan suatu keadaan.
Menurut keterangan Kepala Unit V Information dan Cyber Crime Badan
Reserse Kriminal Mabes Polri, Kombespol Dr. Petrus Golose dalam
wawancara penelitian Ahmad Zakaria, S.H., pada 16 April 2007,
menerangkan bahwa Kepolisian Republik Indonesia (“Polri”), khususnya
Unit Cyber Crime, telah memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP)
dalam menangani kasus terkait Cyber Crime. Standar yang digunakan telah
mengacu kepada standar internasional yang telah banyak digunakan di
seluruh dunia, termasuk oleh Federal Bureau of Investigation (“FBI”) di
Amerika Serikat.
Karena terdapat banyak perbedaan antara cyber crime dengan kejahatan
konvensional, maka Penyidik Polri dalam proses penyidikan di
Laboratorium Forensik Komputer juga melibatkan ahli digital forensik
baik dari Polri sendiri maupun pakar digital forensik di luar Polri.
Rubi Alamsyah, seorang pakar digital forensik Indonesia, dalam wawancara
dengan Jaleswari Pramodhawardani dalam situs perspektifbaru.com,
memaparkan mekanisme kerja dari seorang Digital Forensik antara lain:
1. Proses Acquiring dan Imaging
Setelah penyidik menerima barang bukti digital, maka harus dilakukan
proses Acquiring dan Imaging yaitu mengkopi (mengkloning / menduplikat)
secara tepat dan presisi 1:1. Dari hasil kopi tersebutlah maka seorang
ahli digital forensik dapat melakukan analisis karena analisis tidak
boleh dilakukan dari barang bukti digital yang asli karena dikhawatirkan
akan mengubah barang bukti.
2. Melakukan Analisis
Setelah melakukan proses Acquiring dan Imaging, maka dapat dilanjutkan
untuk menganalisis isi data terutama yang sudah dihapus, disembunyikan,
di-enkripsi, dan jejak log file yang ditinggalkan. Hasil dari analisis
barang bukti digital tersebut yang akan dilimpahkan penyidik kepada
Kejaksaan untuk selanjutnya dibawa ke pengadilan.
Dalam menentukan locus delicti atau tempat kejadian perkara suatu
tindakan cyber crime, tidak dapat diketahui secara pasti metode apa yang
diterapkan oleh penyidik khususnya di Indonesia. Namun untuk Darrel
Menthe dalam bukunya Jurisdiction in Cyberspace : A Theory of
International Space, menerangkan teori yang berlaku di Amerika Serikat
yaitu:
1. Theory of The Uploader and the Downloader
Teori ini menekankan bahwa dalam dunia cyber terdapat 2 (dua) hal utama
yaitu uploader (pihak yang memberikan informasi ke dalam cyber space)
dan downloader (pihak yang mengakses informasi)
2. Theory of Law of the Server
Dalam pendekatan ini, penyidik memperlakukan server di mana halaman web
secara fisik berlokasi tempat mereka dicatat atau disimpan sebagai data
elektronik.
3. Theory of International Space
Menurut teori ini, cyber space dianggap sebagai suatu lingkungan hukum
yang terpisah dengan hukum konvensional di mana setiap negara memiliki
kedaulatan yang sama.
Sedangkan pada kolom “Tanya Jawab UU ITE” dalam laman http://www.batan.go.id/sjk/uu-ite
dijelaskan bahwa dalam menentukan tempus delicti atau waktu kejadian
perkara suatu tindakan cyber crime, maka penyidik dapat mengacu pada log
file, yaitu sebuah file yang berisi daftar tindakan dan kejadian
(aktivitas) yang telah terjadi di dalam suatu sistem komputer.
0 comments:
Post a Comment